Harmonisasi Konvensi Budapest dalam Hukum Nasional

Pada kesempatan kali ini, kita akan membahas tentang konvensi Budapest dan harmonisasinya dalam hukum nasional. Apa itu konvensi Budapest? Apa maksudnya harmonisasi dalam hukum nasional? Dan apa kaitannya dengan hukum nasional? Oke semua daftar pertanyaan itu adalah topik pembahasan kali ini. Jadi pembahasannya akan menjawab semua pertanyaan itu. Mari kita mulai dengan pertanyaan pertama.


Konvensi Budapest

Konvensi Budapest merupakan sebuah konvensi internasional tentang cybercrime atau kejahatan komputer yang dibuat berdasarkan perjanjian internasional pertama yang dilaksanakan di Kota Budapest-Hungaria. Konvensi ini digagas oleh Uni Eropa yang berjumlahkan 35 negara Eropa, ditambah Australia, Republik Dominician, Jepang, dan Amerika Serikat pada November 2001. Dan kemudian dikenal dengan nama Convention on Cybercrime (CoC). 

Inti dari konvensi ini yaitu mengatur kebijakan kriminal dan perumusan tindak pidana agar dapat melindungi masyarakat dari cybercrime. Selain itu juga agar dapat meningkatkan kerjasama antar Negara dalam menangani cybercrime ini. Walaupun sebenarnya konvensi ini dibuat oleh Uni Eropa, tapi perjanjian internasional ini juga terbuka bagi Negara non Eropa. 

Jadi dari perjanjian internasional ini, banyak Negara-negara yang kemudian mengadopsi konvensi Budapest ini menjadi undang-undang cybercrime mereka. Hingga saat ini berdasarkan data dari (Seger, 2013) sudah ada 80 negara yang mengadopsi konvensi Budapest ini. Termasuk Indonesia didalamnya. Penyebaran 80 negara tersebut dapat dilihat pada gambar dibawah ini.



CoC merupakan instrumen hukum ‘internasional’ yang paling banyak dijadikan acuan utama dalam pembentukan peraturan perundang-undangan mengenai tindak pidana siber oleh negara-negara di dunia termasuk Indonesia. CoC mencakup beberapa terminologi yang digunakan dalam konvensi, ruang lingkup tindak pidana yang digunakan dalam konvensi, ruang lingkup tindak pidana siber, hukum acara yang digunakan dalam penyelidikan atau proses peradilan pidana siber, serta kerja sama internasional antar negara anggota.

Terminologi yang Digunakan

CoC memberikan definisi mengenai perangkat dan penyelenggara. Definisi yang diatur ialah sistem komputer, komputer data, dan data trafik. Sedangkan peyelenggara yang dimaksud ialah penyelenggara layanan.

Pengaturan Pidana


Pengaturan tindak pidana ini harus diimplementasikan dalam hukum nasional negara-negara anggotanya. Jenis perbuatan yang diatur adalah :
  • Tindak pidana terhadap kerahasiaan, integritas dan ketersediaan data dan sistem komputer.
  • Tindak pidana yang terkait dengan komputer seperti pemalsuan dengan penggunaan komputer dan penipuan dengan penggunaan komputer
  • Tindak pidana yang terkait dengan konten. Yang dimaksud dalam bagian ini hanyalah tindakan mendistribusikan, mentransmisikan, membuat dapat diaksesnya pornografi anak, sedangkan pornografi dewasa tidak diatur
  • Tindak pidana yang terkait dengan pelanggaran hak cipta dan hak yang terkait
  • Tindak pidana percobaan dan pembantuan

Pembatasan Pertanggung jawaban Pidana

CoC memberikan batasan pertanggungjawaban terhadap penyelenggara jasa yang terlibat dalam transmisi atau komunikasi elektronik. Sebagai contoh penyelenggara hosting tidak bertanggung jawab terhadap informasi yang disimpan padanya berdasarkan permintaan pengguna jasa hosting sepanjang penyelenggara tersebut tidak mengetahui mengenai adanya tindakan yang melawan hukum. Selain pembatasan pertanggungjawaban, CoC juga memuat pengaturan kriminalisasi terhadap badan usaha yang melakukan atau terlibat tindak pidana siber.

Pengaturan Prosedural

Convention on Cybercrime juga mengatur agar negara anggota membentuk regulasi yang memungkinkan aparat penegak hukum memerintahkan seseorang untuk menjaga, melindungi, menyimpan dengan segera data komputer dan data trafik yang tersimpan dalam sistem komputer yang berhubungan dengan tindak pidana agar data tersebut tidak rusak atau dimodifikasi.

Mengingat data komputer dan sistem komputer sulit disamakan dengan benda yang dapat disita menurut pengaturan konvensional, CoC mengatur secara tersendiri penggeledahan dan penyitaan terhadap keduanya. Untuk kepentingan penyelidikan, aparat penegak hukum dimungkinkan untuk membuat dan menyimpan salinan komputer data. Termasuk juga diberi kewenangan untuk memerintah penyelenggara jasa mengumpulkan atau merekan data trafik secara realtime untuk kepentingan penyelidikan.

Kerja Sama Internasional

Karakteristik tindak pidana siber yang lintar batas negara mengharuskan aparat penegak hukum untuk bekerjasama dengan aparat penegak hukum dari negara lainnya. Untuk itu, CoC mencantumkan pengaturan kerjasama internasional dalam bidang penyidikan maupun proses pidana lainnya. 

Konvensi ini juga mengatur bahwa negara anggota, tanpa perlu mendapatkan persetujuan dari negara lain, dapat mengakses data komputer yang tersimpan sepanjang data tersebut tersedia bagi publik. Selain itu, konvensi juga memungkinkan negara anggota mengakses atau menerima melalui sistem komputer dalam yurisdikasinya data komputer yang tersimpan yang berlokasi di yurisdikasi negara lain dalam hal negara yang dimaksud mendapatkan persetujuan dari orang yang memiliki kewenangan untuk memberikan informasi yang diminta.

Perbuatan yang dilarang

Adapun bentuk tindak pidana cybercrime yang diatur dalam konvensi ini yaitu :

  • Akses Ilegal
  • Akses illegal ini diatur dalam pasal 2. Dalam pasal ini dinyatakan bahwa melakukan akses ke seluruh atau sebagian sistem komputer tanpa hak dan dengan sengaja merupakan pelanggaran kriminal.

  • Penyadapan Ilegal
  • Penyadapan illegal diatur dalam pasal 3. Dalam pasal ini dinyatakan bahwa melakukan perbuatan penyadapan tanpa hak dan dengan sengaja, yang dilakukan secara teknis atau melalui transmisi-transmisi data komputer ke, dari, atau dalam suatu sistem komputer, termasuk emisi elektromagnetik dari sistem komputer yang membawa data komputer tersebut merupakan suatu pelanggaran.

  • Data Interference  / Gangguan Data
  • Data interference ini diatur dalam pasal 4. Dalam pasal ini dinyatakan bahwa perbuatan yang dilakukan dengan sengaja terkait penghancuran, penghapusan, perusakan, perubahan, atau penyembunyian data komputer tanpa hak merupakan sebuah pelanggaran kriminal.

  • System Interference / Gangguan terhadap sistem
  • System interference ini diatur dalam pasal 5. Dalam pasal ini dinyatakan bahwa perbuatan yang dilakukan dengan sengaja yang mengakibatkan terganggunya sistem komputer orang lain dengan melakukan input, transmisi, penghancuran, penghapusan, perusakan, perubahan, atau penyembunyian data merupakan sebuah pelanggaran kriminal.

  • Misuse of Device / Penyalahgunaan Perangkat
  • Misuse of Device ini diatur dalam pasal 6. Dalam pasal ini dinyatakan bahwa pencurian, penyediaan, penjualan, dan distribusi dari data komputer yang diperoleh dari sebuah alat merupakan pelanggaran kriminal. Yang dimaksud alat disini adalah hardware maupun software yang telah dimodifikasi untuk mendapatkan akses dari komputer ataupun jaringan komputer.

  • Computer Related Forgery / Pemalsuan yang terkait dengan Komputer
  • Pemalsuan ini diatur dalam pasal 7. Dalam pasal ini disebutkan bahwa melakukan suatu tindakan dengan sengaja yang mengubah sesuatu data yang tidak otentik agar menjadi otentik dengan komputer merupakan tindakan kriminal.

  • Computer Related Fraud / Penipuan yang terkait dengan komputer
  • Pemalsuan ini diatur dalam pasal 8. Dalam pasal ini disebutkan bahwa melakukan suatu tindakan dengan sengaja yang mengakibatkan kehilangannya harta dari pihak lain karena penginputan, perubahan, penghapusan, atau penyembunyian data komputer dan setiap gangguan terhadap fungsi dari suatu sistem komputer merupakan tindakan kriminal.

  • Pornografi Anak
  • Pornografi anak diatur dalam pasal 9. Dalam pasal ini disebutkan bahwa melakukan tindakan eksploitasi terhadap pornografi anak seperti mendistribusikan pornografi anak melalui sistem komputer, menawarkan atau menyediakan pornografi anak melalui sistem komputer, dan lain sebagainya yang bersinggungan dengan pornografi anak merupakan tindakan kriminal. Istilah anak disini yaitu untuk seseorang yang masih berada dibawah umur. Dibawah umur beberapa Negara mensyaratkan dibawah 18 tahun, namun ada juga yang mensyaratkan dibawah itu, namun tidak lebih muda dari 16 tahun.

  • Pelanggaran hak cipta dan hak-hak terkait
  • Pelanggaran hak cipta ini diatur dalam pasal 10. Dan dalam pasal ini disebutkan bahwa pelanggaran hak cipta yang dilakukan melalui sistem komputer merupakan tindakan kriminal.

  • Percobaan dan bantuan atau persengkongkolan
  • Hal ini diatur dalam pasal 11. Maksudnya dalam pasal ini yaitu bahwa siapapun yang membantu atau bersengkongkol dengan pihak yang melakukan pelanggaran seperti pasal 2 sampai 10 konvensi ini juga akan termasuk dalam melakukan tindakan kriminal.

Harmonisasi dengan Hukum Nasional

Untuk Indonesia sendiri saat ini masih menggunakan UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik untuk mengatur tentang cybercrime ini. Walaupun revisi UU ini sedang gencar dilakukan, namun hingga saat ini kita masih tetap berpegang dengan UU ini. 

Adapun perbandingan perbuatan yang dilarang dalam konvensi Budapest dengan perbuatan yang dilarang dalam UU ITE ditambah dengan beberapa UU terkait yang dapat menguatkan UU ITE itu sendiri dapat dilihat dalam tabel dibawah ini.


Dapat kita perhatikan dalam tabel diatas bahwa hampir semua perbuatan cybercrime yang direkomendasikan dalam European Convention on Cyber Crime atau konvensi Budapest ini juga telah ada diatur dalam UU ITE. Perbedaannya hanya pada tata letak atau urutan pengaturan berbagai perbuatan tersebut (Putra, 2014). 

Namun ada sedikit perbedaan antara UU ITE dan konvensi Budapest menyangkut hal pornografi. Jika dalam konvensi Budapest hanya pornografi anak, maka di Indonesia, semua hal yang berbau pornografi dilarang. Jadi bukan hanya yang melibatkan anak-anak.

Demikianlah pembahasan kita kali ini tentang konvensi Budapest dan harmonisasinya dalam hukum nasional. Semoga pembahasan kita kali ini menambah wawasan kita semua. Wassalam.

Yogyakarta, 15 Desember 2015
Referensi :
  • Amirulloh, M., Padmanegara, I., & Anggraeni, T. D. (2009). Kajian EU Convention on Cybercrime dikaitkan dengan Upaya Regulasi Tindak Pidana Teknologi Informasi. Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia RI. Jakarta.
  • Council Conseil of Europe. Convention on Cybercrime (2001).
  • Putra, A. K. (2014). Harmonisasi Konvensi Cyber Crime dalam Hukum Nasional. Jurnal Ilmu Hukum, 95–109.
  • Republik Indonesia. Undang Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (2008). Indonesia.
  • Republik Indonesia. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi (2008). Indonesia.
  • Republik Indonesia. Undang Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (2014). Indonesia.
  • Seger, A. (2013). Budapest Convention on Cybercrime. CTO Cyber Security Forum, (April).
  • Sitompul, J. (2012). Cyberspace, Cybercrimes, Cyberlaw : Tinjauan Aspek Pidana. Jakarta: PT. Tatanusa.

Previous
Next Post »