Keajaiban itu Nyata

Adakah yang namanya keajaiban itu? Ketika sesuatu hal diyakini tidak mungkin, dan kemudian berserah diri ke tuhan, apakah hal  tadi berubah menjadi mungkin dan bisa? Jawaban semuanya adalah YA. Keajaiban itu nyata adanya.

Tulisan kali ini, saya mau berbagi pengalaman tentang keajaiban. Ketika pasrah datang, ketika putus asa menyelimuti, hanya sebutir semangat yang tersisa, dan itupun dihibahkan dari orang-orang tercinta. 

Namun secercah semangat dan harapan itu ternyata yang menjadikan keajaiban itu ada. Mengubah hal yang tidak mungkin menjadi mungkin.

Cerita ini bermula dari 5 bulan lalu. Ketika akan berangkat ke Taiwan, pikiran sempat ragu. "Apakah aku bisa sekolah S3?, apakah aku masih mampu?, kok kayaknya gak mungkin bisa ya?" 

Begitulah pertanyaan membayang-bayangi ke seluruh sudut jiwa. Namun istri dan orang tua selalu memberikan semangat sambil berkata "Ayo kamu pasti bisa".

Ketikapun telah sampai di Taiwan dan memulai kegiatan baru sebagai mahasiswa, pikiran buruk tersebut masih ada. Tapi ya tetap dicoba untuk dijalani. 1 bulan pertama masih berjalan lancar, ibarat pengantin baru yang masih dalam masa berbulan madu. 

Semuanya masih berjalan indah, ikut kuliah masih dalam suasana riang gembira. Tidur masih 7-8 jam. Pergi ke lab jam 9.30, pulang jam 5. Pokoknya semua berjalan dengan bahagia. Rasanya "ah wes gampang kok kuliah S3, bisa bisa".

Saya terlalu sombong pada diri sendiri. Terlalu bangga sama diri sendiri bisa jadi mahasiswa S3. Serasa masuk surga. Padahal, status mahasiswa S3 berarti kita siap masuk ke neraka dunia. 

Eh kok lebay? Ya tidak apa deh, kalau ada yang mencicipi boleh monggo sini haha. Dan akhirnya saya pun mulai mencicipi neraka dunia ini. 

Pokok permasalahan datang di bulan kedua sebagai mahasiswa. Ketika masa Mid-Term Exam datang. Ketika harus berjibaku dengan ujian, dan ketika mulai mendapat pressure, teguran, dari Advisor. Masa bulan madupun selesai. 

Masa hidup tenang berakhir. Stres melanda. Performa hancur tak berbentuk.

Ketika mendapat nilai midterm exam dari satu mata kuliah, hati lemas, kaki tak bertenaga. Nilai midterm exam cuma 59. Eh kok buka-bukaan nilai? Ya saya orangnya memang terbuka aja sih dari dulu, masalah nilai, atau gaji bagi diri saya bukan suatu privacy, tapi suatu informasi yang sebenarnya bisa berguna bagi orang lain.

Ok balik lagi ke nilai 59. Kadar ketenangan diri masih 60%, karena dalam hati, ah masih bisa di drop kok matakuliahnya, its fine, just drop it, and survive with the other course. 

Seminggu kemudian, nilai exam matakuliah satu lagi keluar juga. Daaaaaannnn, tadaaaaaa. Nilai nya juga 59. Whaaat? Ya, ketika dirasa nilai ujian bisa diatas 80, ternyata 59. Hancur semua harapan itu.

Nilai menjadi suatu yang sangat penting kalau mendapatkan beasiswa dari Taiwan. Baik itu beasiswa dari Kementerian ataupun dari Kampus di Taiwan. Minimal rata-rata harus 82. Dibawah itu? Ya pulang kampung, gak akan dapat beasiswa lagi. 

Ini yang buat nangis waktu itu. Midterm cuma 59, di semua mata kuliah. Ternyata kuliah S3 di luar negeri, apalagi di kampus dengan peringkat 50-100 dunia di bidang Computer Science, "angel rek".

Saya mencoba merefleksikan diri, apa yang salah. Ternyata banyak. Saya tidak bersungguh-sungguh ketika akan ujian. Materi hanya di flashback saja, dan merasa sombong, karena merasa bisa, merasa gampang. 

Itu yang menghancurkan. Kesombongan. Dan kesalahan berikutnya, tidak detail. Jawab exam hanya asal "sengena" nya aja. 

Ternyata disini tidak begitu. Jawaban exam harus benar detail. Kurang keyword satu aja, salah. Tidak ada biaya upah menulis. Sepanjang apapun jawaban, kalau salah atau kurang keyword ya tetap salah. 

Masalah tidak sampai disitu, performa di Lab juga ternyata tidak sesuai ekspektasi. Advisor sampai memberi teguran, yang intinya saya terlalu santai. Fundamental teori hancur-hancuran. Kemampuan teknis jauh panggang dari api. Kemampuan berpikir kritis, skillnya jauh dari kata mahasiswa S3. 

Hancur di kuliah, hancur di lab. Tidak ada satupun yang membanggakan. Sempat berpikir, yaudah pulang aja deh. Gagal ini sudah. 

Saya memang terlalu bodoh untuk sekolah S3 di luar negeri. Modal "bejo" saja tidak cukup memang. Wes pokoknya waktu itu pasrah. Curhat ke istri, orang tua, sampai nangis-nangis sudah. 

Pokoknya macam anak bayi nangis merengek minta dibelikan es krim. Beneran terpojok ke level yang terendah dalam hidup untuk yang kedua kalinya. Makan gak selera, tidur gak tenang, gairah hidup hilang. Kegagalan benar-benar udah ngetok-ngetok pintu depan rumah dan melambai-lambai minta ketemu. 

Ketika lagi asyiknya bergalau ria meratapi kegagalan di depan mata, saya lihat anak dan istri yang sedang tertidur nyenyak disamping. Dalam hati berpikir, "aku harus bangkit, aku gak mau pulang, aku mau tetap disini, aku mau anak aku bisa hidup disini". Secercah semangatpun mulai hadir bak matahari pagi yang bersinar terang di tengah musim dingin. 

Penyemangat berikutnya datang dari orang tua. Ketika menelpon mereka, berbagi cerita sedih ini, sambil terisak tangis, saya tersadar, ketika mami saya ikut menangis, sambil berkata:

"abang pasti bisa, abang bukan anak bodoh, mami yakin bisa, abang gak boleh pulang, mami sama bapak mau terus bangga lihat anaknya bisa lulus S3, cuma abang kebanggan kami, cuma kesuksesan abang kebahagiaan kami".

Disitulah titik balik semuanya. Kehidupan diputar 360 derajat. Berbekal nasihat Advisor bagaimana mengatur waktu, dan mendengar pengalaman beliau mengatur waktu ketika S3, saya merubah pola hidup.

Tidak ada kata santai. Jam tidur dipangkas jadi hanya 4 jam sehari. Tidur jam 11 malam, bangun jam 3 pagi. Jam 3 sampai jam 7, belajar. Belajar fundamental teori, belajar materi matakuliah.

Ke lab jam 7.30, pulang jam 5.30 sore. Hari minggu masuk, cukup sabtu libur. Itupun masih ada 6 jam waktu belajar. Pokoknya hidup berubah drastis. 

Kalau gak tahu sesuatu, tanya. Sebelumnya saya memang malu bertanya, takut mengganggu teman-teman lab yang ditanyai, tapi setelah itu, tidak lagi. Pokoknya tanya. Karena dengan bertanya lebih cepat proses belajarnya.

Di satu matakuliah, midterm exam nya ada 2x. Ketika midterm exam yang kedua datang, belajarnya seminggu. Perhari dialokasikan 7 jam belajar untuk persiapan exam. Tidak bisa cuma memahami, harus menghapal, 120 slide materi, ditelan, dihapal, bagaimana pun caranya harus hapal.

Naik sepeda berangkat dan pulang kampus, sambil menghapal, di kamar mandi sambil menghapal, lagi makan, sambil mengingat hapalan.

Perjuangan itu membuahkan hasil, nilai midterm exam yang kedua naik drastis menjadi 86. Wooo senangnya minta ampun. Tapi tetap gak mau sombong dan merasa bisa. Karena kesombongan telah menghancurkan kehidupan saya di dua bulan awal.

Pokoknya tidak kasih kendor, sesekali memang ada telat bangun jadi jam 5, atau jam 6, tapi tetap harus belajar. Nah cerita berikutnya kita bagi jadi 2 segmen. Segmen pertama tentang matakuliah pertama, nama nya Network Security.

Kegalauan berikutnya terjadi di matakuliah ini. Ketika mendapat tugas yang benar-benar saya tidak bisa. Disuruh buat sistem yang dapat mendeteksi perilaku suatu user. Jadi misal, ada log yang berisikan kegiatan di komputer dan di internet, akses youtube, akses google, akses dokumen A, nah ini harus diklasifikasikan punya siapa. Ada 6 user. Harus dipelajari setiap log identik dengan siapa.

Waktu itu beneran gak tau harus bagaimana membuatnya. Karena belum mahir python. Masih juga proses belajar waktu itu. Tapi gak mau lama-lama galaunya. Gak mau gagal lagi. Caranya gimana? Tanya. Tanya ke teman-teman lab, tanya ke teman-teman lain, pokoknya sudah kayak anak bayi baru belajar ngomong yang terus tanya apapun ke orang tuanya.

Bersyukur punya teman-teman lab yang baik, dengan sabarnya, mereka membantu mengajarkan cara buatnya. Hingga akhirnya programnya bisa selesai, dan ketika demo, lalu diberikan dataset yang berbeda, programnya berhasil mendeteksi 5 dari 6 data yang diberikan. Wuooo senangnya minta ampun.

Bayangkan, seseorang yang gak bisa ngoding, berhasil buat sistem tersebut walaupun dibantu. 

Ketika final exam, pakai pola yang sebelumnya itu, belajar 7 jam sehari, kemana-mana menghapal. Dan ketika selesai final exam, boooommm. Nilai final examnya 95. Secercah harapan berhasil dari kegagalan muncul. 

Oke pindah ke cerita mata kuliah kedua namanya Data Center Networking. Di mata kuliah ini sebenarnya banyak tugas yang gak bisa diselesaikan. Beruntung teman lab sekaligus teman sekelas matakuliah ini, luar biasa dengan baiknya membantu saya. Nama beliau adalah Pak Widhi.

Beliau yang dengan sabar membantu seluruh project matakuliah saya itu, beliau juga selalu mengajarkan saya ketika tidak paham di matakuliah itu. Nah ketika final exam, pakai pola sama, belajar 7 jam juga, menghapal.

Ketika final exam, boooommmm. Gagal. Gak bisa jawab seluruh ujiannya. Gara-gara baca soal nomor 1, blank, bingung, gimana cara jawabnya, disuruh design topologi, yang bagian ini saya lewatkan belajarnya. Akhirnya beruntut ke yang lain. Seluruh materi yang diingat, lupa.

Mau nangis lagi. Karena percuma, berhasil di satu matakuliah, tapi gagal disini, sama aja intinya bakal gagal. Selesai dari final exam dengan mata berkaca-kaca. Usaha 2 bulan belakang, belajar mati-matian sepertinya percuma. Setelah itu hanya pasrah. Hanya berdoa. Maksimalkan berdoa sebanyak-banyaknya.

Karena hitungan waktu itu, total nilai bisa dibawah 82. Batas nilai untuk bisa apply beasiswa semester berikutnya.

Kembali, Istri di rumah menjadi obat tenang. pak Widhi di lab juga terus memberi semangat dan berkata "wes santai aja pak, insya allah aman, kan project bagus". Orang tua sengaja gak dikasih tau bagian ini, hanya meminta doa, gak mau mereka kepikiran anak nya terus-terusan.

Di akhir semester, nilai pun keluar. Disini satu keajabian terjadi. Matakuliah Network Security, berhasil dapat nilai akhir 89. Senangnya luar biasa. Dari midterm 59, bisa finish di 89. 

Tapi masih belum tenang karena nilai satunya belum keluar. Ini yang buat galau. Percuma ini 89, tapi yang satunya lagi dibawah 70.

Akhirnya yang dinanti keluar, keajaiban lainnya datang. nilai matakuliah itu ternyataaaaaaaaaaaaaaaaaaaa. delapanpuluhsatu. Wiiiss ini langsung loncat-loncat gak karuan. Nilainya keluar jam 1 malam, saya cek jam 3 pagi. Langsung bangunin istri, bilang nilai 81. "Dek gak jadi gagal, insya allah kita tetap disini".

Ini benar-benar keajaiban. Mid dan Final gagal, bisa-bisanya naik drastis nilai jadi 81. Disini keajaiban itu nyata adanya.

Total nilai rata-rata 85. Yes diatas ambang minimal 82. Setidaknya bisa apply beasiswa semester depan. Masalah nanti lulus beasiswa atau dapatnya kecil, Wallahualam. Setidaknya saat ini bisa keluar dari jurang kegagalan. Comeback yang luar biasa.

Terima kasih ya Allah. Telah memberikan keajaiban untuk hambamu ini. Terima kasih istri, anak, orang tua, yang terus memberikan support.

Terima kasih pak Widhi, labmate dan clasmate terbaik. Yang terus bantu support, mengajarkan dengan sabar. Teman-teman lab lainnya, Liu, Khoi. Tanpa kalian, semester ini akan berakhir dengan kegagalan.

Fiuuh, benar semester yang melelahkan untuk hati dan jiwa. Sampai jumpa semester depan.

Hsinchu, 6 Juli 2020



Previous
Next Post »