Bukti Digital dalam Undang-Undang di Indonesia

Pada kesempatan kali ini, kita akan membahas tentang bagaimana keabsahan bukti digital dalam Undang-Undang yang ada di Indonesia. Barang bukti digital merupakan data digital yang tersimpan di dalam perangkat elektronik. Menurut (Casey, 2006) bukti digital adalah data yang tersimpan atau tertransmisi menggunakan komputer baik yang bersifat mendukung atau menyanggah teori proses pelanggaran atau mengandung unsur-unsur pelanggaran.

Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik atau yang sering disebut dengan UU ITE yang merupakan pedoman hukum cyber di Indonesia ternyata tidak mencantumkan penjelasan tentang bukti digital ini. Namun terdapat dua istilah yang mirip dengan bukti digital ini, yaitu informasi elektronik dan dokumen elektronik.
 
Dalam pasal 1 butir 1 UU ITE disebutkan bahwa informasi elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya

Sedangkan dalam pasal 1 butir 4 UU ITE menjelaskan bahwa dokumen elektronik adalah setiap Informasi Elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal, atau sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan, dan/atau didengar melalui Komputer atau Sistem Elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol atau perforasi yang memiliki makna atau arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.

Informasi dan dokumen elektronik tersebut dapat dibedakan tapi tidak dapat terpisahkan. Maksudnya adalah Informasi elektronik merupakan data atau sekumpulan data sedangkan dokumen elektronik merupakan tempat atau wadah dari informasi eletkronik tersebut. Sebagai contoh, sebuah video berformat .mp4, maka isi dari video tersebut baik itu berupa gambar, suara, dan lainnya merupakan informasi elektronik, sedangkan file video .mp4 merupakan dokumen elektroniknya.

Berdasarkan penjelasan tersebut, maka dapat diambil kesimpulan bahwa bukti digital merupakan kumpulan dari informasi dan dokumen elektronik yang tersimpan dalam perangkat elektronik.
 
Lalu bagaimana keabsahan bukti digital ini? Karena seperti yang diketahui dalam KUHP pasal 184 ayat (1) mengatakan “alat bukti yang sah adalah: keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa”. Tidak ada bunyi bukti digital dalam pasal tersebut.
 
Ternyata hal ini telah diatur di dalam Pasal 5 ayat (1) UU ITE yang mengatakan bahwa Informasi Eletkronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah. Dan juga diperkuat dalam ayat (2) pasal 5 UU ITE juga menjelaskan bahwa Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan perluasan dari alat bukti hukum yang sah sesuai dengan hukum acara yang berlaku di Indonesia.
 
Makna dari “perluasan dari alat bukti hukum yang sah” tersebut menurut (Sitompul, 2012) adalah :
  • Memperluas cakupan atau ruang lingkup alat bukti yang diatur dalam Pasal 184 KUHAP; dan
  • Mengatur sebagai alat bukti lain, yaitu menambah alat bukti yang diatur dalam Pasal 184 KUHAP.
Berdasarkan pasal dalam undang-undang inilah dapat dikatakan bahwa bukti digital telah menjadi alat bukti hukum yang sah. Karena seperti yang telah dibahas sebelumnya, bukti digital tersebut merupakan kumpulan dari informasi dan transaksi elektronik.
 
Berdasarkan pasal 5 ayat (2) tersebut juga menjelaskan bahwa hasil cetakan dari informasi elektronik juga dapat menjadi alat bukti yang sah. Namun penggunaan hasil cetakan ini tidak selamanya dapat digunakan. Tergantung dari kasus yang dihadapi. Sebagai contoh, penggunaan CCTV sebagai barang bukti digital, tentunya barang bukti yang disajikan dalam pengadilan akan lebih baik dalam bentuk videonya karena akan memudahkan dalam memahami fakta hukum yang terekam dalam video tersebut, bukan dalam bentuk cetakan dari informasi elektroniknya. Karena akan sangat tidak efektif dan menghabiskan banyak kertas jika harus mencetak video tersebut ke dalam bentuk-bentuk gambar.
 
Akan tetapi dalam beberapa kasus, penyajian alat bukti dalam bentuk hasil cetakannya lebih mudah untuk dijelaskan di pengadilan dari pada membawa barang bukti aslinya. Sebagai contoh kasus pencemaran nama baik melalui email. Tentu penggunaan hasil cetakan dari informasi elektronik yang terdapat dalam email tersebut lebih memudahkan pengadilan dalam menilai fakta hukumnya. Karena pada prinsipnya, email sama dengan tulisan, hanya saja dalam bentuk elektronik (Sitompul, 2012). Oleh karena itu, penyajian hasil cetakan diperbolehkan sepanjang sudah memenuhi karakteristik dari bukti digitalnya.
 
Demikianlah pembahasan  kita tentang bukti digital dalam undang-undang di Indonesia. Semoga pembahasan ini menambah wawasan kita semua. Wassalam.

Yogyakarta, 9 Februari 2016
Referensi :
  • E. Casey, "Digital Evidence and Computer Crime: Forensic Science, Computers and The Internet," Jurimetrics, vol. 46, no. 3, pp. 373-378, 2006
  • Republik Indonesia. Undang Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (2008). Indonesia.
  • Sitompul, J. (2012). Cyberspace, Cybercrimes, Cyberlaw : Tinjauan Aspek Pidana. Jakarta: PT. Tatanusa.
 

Previous
Next Post »