Menurut Caldell, Amerini, et al. (2010) multimedia forensik dapat didefinisikan sebagai ilmu yang mencoba menganalisa, dengan hanya menganalisa beberapa aset digital tertentu, untuk memberikan penilaian atas konten tersebut dan mengekstrak informasi yang dapat berguna dan dapat mendukung penyelidikan terkait dengan scene/ kejadiaan yang direseprentasikan oleh dokumen digital tersebut. Ide dasar dari forensik multimedia bergantung pada pengamatan bahwa baik proses akuisisi dan setiap operasi post-processing meninggalkan jejak khas pada data, sebentuk sidik jari digital. Analisa sidik jari digital tersebut dapat mengarahkan tim analisi untuk menentukan asal ataupun sumber dari gambar/ video dan menentukan keaslian dari konten digital tersebut.
Menurut Bohme (2009) dalam multimedia forensik dapat dikategorikan menjadi 2 tindakan yang dapat dilakukan terhadap konten evidence tersebut, yaitu :
1. Characteristic of source devices
Memeriksa dan mencari informasi terkait sumber devices yang digunakan dalam/ menghasilkan konten evidence / file-file multimedia.
2. Artificacts of previous processing
Mendeteksi setiap perubahan ataupun proses manipulasi yang terjadi terhadap file-file multimedia seperti copy,paste, insert, skala, editing, kompresi.
Namun sebenarnya ada perbedaan fokus yang dicapai antara digital forensik dan multimedia forensik ini. istilahnya mereka ini sama tapi beda. Laksana anak kembar yang mempunyai kesamaan fisik, belum tentu memiliki kesamaan sifat. Tabel berikut akan menjelaskan tentang perbedaan tersebut.
Ada 3 aspek dalam Multimedia Forensik. Yaitu Audio Forensik, Image Forensik dan Video Forensik. Dalam pembahasan kali ini, kita akan coba bahas tentang pengenalan video forensik. Fokus dari video forensics adalah pada analisa video melalui frame by frame analysis untuk memastikan apakah dalam rekaman video tersebut ada informasi atau hal-hal tertentu yang diduga akan menguatkan atau mendukung proses penyidikan. Dalam analysis tersebut salah satu fokusnya adalah untuk memperjelas objek tertentu, baik melalui pembesaran/pengecilan objek, perbaikan kualitas objek (enhancement dengan rekayasa image) ataupun rekontruksi object melalui aspek multiview camera. Selain melakukan eksplorasi terhadap konten video dengan zooming, enhancement dan sejenisnya, sebenarnya salah satu aktifitas lain yang masih dapat dilakukan adalah rekontruksi dan simulasi.
Dalam keilmuan digital forensik, ada perbedaan antara video analysis dan video forensik, Kalau dari aspek video analysis memang ada tampering tapi kalau dari sudut pândang video forensics maka tampering itu justru dilakukan untuk mendapatkan informasi yang ingin dicari.
Video forensic itu memang selalu dikaitkan dengan proses penyidikan, artinya investigator dan analys video forensics harus dapat menemukan informasi yang relevan yang termuat dalam video tersebut untuk mendukung data-data penyidikan. Bila informasi tersebut tidak jelas, maka harus diperjelas, bila informasi itu hilang maka harus dapat direcovery, bila informasi tersebut tidak lengkap (terputus) maka harus dapat diprediksi bagaimana yang lengkapnya.
Dan untuk melakukan analysis tersebut harus dilakukan sejumlah rekayasa baik secara algoritma ataupun melalui proses rekayasa sederhana melalui enhancement, histogram, gamma, zooming, cropping dll., Jadi analisa video memang akan bersentuhan dengan mekanisme tampering image/frame. Hanya saja semua proses tampering tersebut tidak dilakukan pada file asli kemudian semua langkahnya terdokumentasi dengan detail sehingga dapat dicoba kembali dengan cara dan hasil yang sama.
Berbicara tentang CCTV saat ini sudah bukan menjadi hal yang baru. Sebab hampir semua masyarakat Indonesia sudah mengetahui apa itu CCTV. Hal tersebut juga menjadi booming karena sering diangkat dalam pembahasan sebuah persidangan kasus pembunuhan berencana kopi yang sidangnya disiarkan secara live. Dan juga salah satu materi bahan bukti yang diperdebatkan adalah tentang CCTV ini.
CCTV terdiri atas beberapa arsitektur yang saling terkoneksi. CCTV biasanya terhubung ke DVR yang didalamnya terdapat hardisk untuk media penyimpanannya. DVR (Digital Video Record) merupakan alat yang berfungsi untuk merekam gambar kedalam media format digital ke dalam media penyimpanan seperti hardisk. Untuk lama penyimpanannya itu tergantung dari kapasistas hardisk yg ada. Biasanya untuk 16 camera dengan hardisk 500gb bisa menyimpan kurang lebih 2 mnggu. Dan nantinya setelah terisi penuh data yang paling lama akan otomatis terhapus.
Dalam sisi forensik, terdapat prosedur yang harus ditaati untuk dapat menjadikan CCTV menjadi sebuah barang bukti di persidangan. Berbicara tentang prosedur, ada beberapa standar atau aturan yang sudah mengaturnya. Salah satunya yang telah diatur dalam SNI 27037:2014. SNI ini sendiri adalah Standar Nasional Indonesia yang mengatur tentang pedoman standarisasi pelaksanaan investigasi forensika digital. Dalam SNI itu sudah dijelaskan prosedur lengkap seperti apa prosedur pengambilan data video nya. Salah satu nya yaitu, sebelum mengambil video, pastikan dulu waktu dan tanggal di sistem cctv atau DVR nya apakah sama dengan waktu dan tanggal kita yang sekarang atau tidak, kemudian kita harus tahu berapa kapasitas penyimpanan cctv tersebut, dan kapan waktu cctv tersebut menimpah file video yang ada.
Berikutnya dilakukan akuisisi atau pengambilan data CCTV tersebut. Bisa mengcopy video nya ke external storage, atau bisa juga via jaringan jika CCTV tersebut support. Menggunakan fitur export video yang disediakan oleh CCTV itu diperbolehkan dalam SNI. Setelah pengambilan data selesai, pastikan bahwa video yang telah dicopy sudah benar, caranya bisa dengan membandingkan memutar video hasil copy dan dibandingkan dengan video yang berada di DVR. File hasil akuisisi CCTV merupakan file masternya. Sehingga kalau mau menganalisisnya, harus di akuisisi ulang.
Demikianlah pembahasan tentang pengenalan Multimedia Forensik, Video Forensik, dan CCTV Forensik. Pembahasan diatas merupakan bahan materi yang saya gunakan ketika menjadi narasumber dalam sebuah acara Talk Show di stasiun radio UNISI FM Yogyakarta bersama kedua rekan saya (Soni dan Nora Lizarti) pada tanggal 30 September 2016.
Yogyakarta, 24 November 2016
Referensi :
- Caldell, R., Amerini, I., & Picchioni, F. (2010). Multimedia Forensic Techniques for Acquisition Device Identification and Digital Image Authentication, 130–132. https://doi.org/10.4018/978-1-60566-836-9.ch006
- Bohme, R., Freiling, F., Gloe, T., & Kirchner, M. (2009). Multimedia Forensics is not Computer Forensics. International Workshop on Computational Forensics. Retrieved from http://www1.inf.tu-dresden.de/~rb21/publications/BFGK2009_Multimedia_Forensics_Is_Not_Computer_Forensics_IWCF.pdf
- Lizarti, Nora. (2016). Konsep Integrated Multimedia Forensic Investigation Framework (IMFIF) Dengan Menggunakan Metode Composite Logic. Tesis. Yogyakarta.
- Prayudi, Y. (2016). Video Forensics : Catatan dari Ruang Sidang (II). Retrieved September 30, 2016, from https://catatanforensikadigital.wordpress.com/2016/09/20/video-forensics-catatan-dari-ruang-sidang-ii/
- Prayudi, Y. (2016). Video Forensics : Bahan Kajian. Retrieved September 30, 2016, from https://catatanforensikadigital.wordpress.com/2016/08/31/video-forensik/
- Prayudi, Y. (2016). Video Forensics : Pelajaran dari Ruang Sidang Pengadilan. Retrieved September 30, 2016, from https://catatanforensikadigital.wordpress.com/2016/08/11/video-forensics-pelajaran-dari-ruang-sidang/
Sign up here with your email