Kerinduan

Tulisan kali ini merupakan isi dari salah satu book chapter yang saya dan teman-teman seperjuangan Bridging tulis. Jadi teman-teman seperjuangan Bridging di Taiwan pada inisiatif untuk menuliskan ceritanya masing-masing dan dikumpulkan menjadi satu untuk bisa dipublikasikan menjadi buku. Berikut merupakan tulisan saya yang terdapat dalam chapter buku tersebut.

Kerinduan

Pernahkah merasakan rindu dengan pacar ketika masa remaja dulu? Pernah dong. Pernah juga gak merasa rindu dengan orang tua ketika perantauan? Ya pasti pernah. Pernah juga pasti ya rindu sama adek kandung ketika lama tak bersua? Kalau ini, rindu kelahinya.

Tapi tahu tidak, kerinduan terbesar itu sama siapa dan seperti apa? Ini jawaban yang baru saya ketahui setelah hidup selama lebih dari ¼ abad. 

Rindu terhadap pacar sewaktu remaja dulu bukanlah tandingannya. Rindu terhadap orang tua juga masih kalah. Kerinduan yang ini tidak ada obatnya. Ketika kamu merasakannya, kamu akan merasakan kalau waktu itu berjalan sangat lambat. Seolah kamu bisa menghitung setiap detik yang terlewati itu. 

Seluruh makanan yang ada di depan kamu, tidak akan terasa sedikitpun nikmatnya. Seluruh aktivitas yang dilakukan, terasa hampa. Seluruh semesta seolah mengejek dan menertawakan sifat mu kala menghadapi kerinduan ini.

Melalui tulisan ini, saya ingin menceritakan kisah saya kala menghadapi kerinduan itu. Kerinduan yang sangat menyiksa hati dan batin saya. Salahkah kerinduan ini? Tidak. Tidak ada yang salah dengan namanya kerinduan. Yang salah tetap pribadi saya yang tak kuasa membendung gelombang tinggi kerinduan.

Cerita ini dimulai pada tanggal 30 Oktober 2019. Tatkala saya terpilih sebagai salah satu peserta program Bridging dari Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi. Dari program ini, saya akan menempuh Pendidikan pra-doktoral singkat selama 2 bulan di Taiwan. Ketika mendapat kabar terpilih sebagai peserta, senangnya bukan main. Bangga nya luar biasa. Akan tetapi, seluruh kebahagiaan itu sirna ketika 30 oktober 2019 datang. Hari dimana saya harus berangkat ke Taiwan.

Di pintu keberangkatan bandara, saya masih menggendong dengan erat anak saya yang masih tertidur dengan polos. Anak laki-laki saya yang saat itu berusia 15 bulan. Yang saya beri nama Revan. Yang baru mulai aktif berjalan, belajar berlari kemana-mana walaupun masih “jatuh bangun”. Yang mulai belajar berbicara huruf demi huruf. Tentunya selalu menggemaskan bagi saya. 

Tawanya adalah obat Lelah yang begitu ampuh. Tangisannya adalah kesedihan yang harus segera disudahi bagi saya. Anak laki-laki saya yang sangat berharga bagi saya. Segala-galanya buat saya. Cinta dari segala cinta yang ada. Kasih sayang dari segala kasih sayang yang ada. 

Keberangkatan ini begitu pilu untuk dirasakan. Begitu sakit untuk dijalankan. Melihat wajah polos nya yang tertidur begitu memberatkan hati untuk melangkah menuju gate pemeriksaan. Hati saya bergumam, sebelum pergi masih ingin melihat senyum dan tawanya lagi.

Seketika, Revan terbangun dari tidur anggunnya. Dengan wajah setengah sadarnya, dia memanggil “Papa” sambil memberi isyarat ingin digendong. Menggendongnya adalah sebuah bentuk transfer cinta yang begitu bahagia untuk dirasakan. Namun kali itu, berubah menjadi kesedihan tiada tara. Tak ingin rasanya melepas gendongan ini. Tapi, panggilan dari bandara sudah terdengar 1x, mengisyaratkan seluruh penumpang harus segera naik ke pesawat. 

Dengan sangat berkecamuk, Revan saya serahkan Kembali ke mamanya. Seketika pula, Revan langung meluapkan tangisannya. Entahlah, mungkin saat itu dia juga merasakan bahwa Papa nya akan pergi cukup lama. Waktu yang lama bagi kami untuk berpisah. Ingin rasanya ikut menangis di gerbang tersebut. Tapi istri saya dengan tegar, berdiri kokoh disamping saya, terus memberikan semangat sekaligus isyarat, segeralah naik ke Pesawat. Dengan seluruh kesedihan hati, saya pergi menuju pesawat sambal menahan isak tangis dalam hati.

Ternyata, itu semua barulah awalan dari kisah selama 2,5 bulan ke depan. Kesedihan yang dirasakan saat itu, ternyata barulah permulaan dari seluruh kesedihan yang akan saya alami. Kita melompat ke 7 hari setelah keberangkatan. Ketika saya telah sampai di Taiwan, dan mulai mengisi hari-hari pendidikan singkat.

Malam itu, saya duduk terpaku di lobby asrama saya seusai pulang dari kegiatan pendidikan. Saya ambil handphone, dan mulai menghubungi Revan dan mamanya via Video Call. Seketika video call tersebut berhasil terkoneksi. Dari sepetak kecil layar tersebut, saya bisa melihat, Revan lagi asyik main dengan “BumBum” nya. Ketika dipanggil, “Nak ini papa sayang, sini dulu dong”, dia masih acuh dan terus disibukkan dengan mainan barunya itu. Sayapun hanya bisa menyaksikan momen tersebut dari kejauhan. Tanpa bisa ikut menemaninya, tanpa bisa ada disebelahnya, tanpa bisa menjadi co-driver “BumBumnya”.

1,5 jam malam itu dihabiskan hanya untuk menyaksikan kegiatannya tersebut. Ini adalah satu-satunya kegiatan yang berhasil membuat saya tak lagi menghitung detik demi detik berjalan. Tapi kegiatan malam itu harus disudahi, sudah waktunya Revan menyelesaikan seluruh aktivitasnya hari ini, dan pergi tidur.

Saat itulah, tanpa disadari, air mata saya keluar untuk pertama kalinya. Kesedihan akan kerinduan yang terus menggerogoti hati. Sudah 7 hari ini saya berusaha kuat dan tegar. Tapi malam ini, saya begitu rapuh. Dengan langkah nan tertatih, saya pergi keluar asrama, dan memilih untuk duduk di bangku taman. 

Ditengah kencangnya angin dingin di musim gugur itu, saya duduk meratapi kesedihan, air mata pun tak kunjung henti. Tak kuasa lagi menahan kerinduan yang terus berkecamuk. Ingin rasanya saat itu tidur disebelah Revan, ingin rasanya menggendongnya, ingin rasanya mencium mu nak. Tapi apa daya, saya tak punya kuasa. Jarak ini sungguh menyakitkan. Dinginnya suhu malam itu tak lagi terasa dalam diri. Karena dinginnya hati karena kerinduan ini, mengalahkan dinginnya suhu malam itu.

Dalam ratapan kesedihan itu, saya coba untuk menyalurkannya ke dalam sebuah tulisan, akan tetapi cara itu tak berhasil. Kesedihan ini tak berhasil dipindahkan walaupun sementara. Sialnya, kesedihan ini semakin mendalam. 

Kemudian saya teringat masa kecil saya, ketika saya melihat sebuah buku tulisan Ibu saya, yang penuh dengan puisi-puisi indah nan romantis. Buku tersebut ternyata digunakan ibu saya untuk memindahkan seluruh perasaan yang dihadapinya ke dalam bentuk-bentuk puisi. Puisi-puisi kerinduannya akan Kembali nya Bapak saya dari operasi militer, kerisauannya akan kondisi Bapak saya ditengah hutan dalam operasi militer, semua tersusun indah dalam buku tersebut.

Sayapun mencobanya. Kata demi kata, terukir begitu halus, tanpa harus berpikir dalam, tanpa harus memilih kata, semua tertulis begitu mengalir, sambil sesekali menyeka air mata yang masih ada seolah memberi tanda, “saya ada disini untuk menemani kerinduan mu”.

Begitu selesai menulis itu, akhirnya ada sedikit perasaan lega. Memindahkan kerinduan tersebut ke dalam bentuk puisi ternyata berhasil. Inilah mengapa Ibu saya punya banyak buku yang berisi puisi-puisi nya. Ternyata ia juga mencoba untuk memindahkan seluruh perasaannya ke dalam untaian kata tersebut.

Sialnya, kesedihan itu tak lama pergi dari. Esoknya, dia datang lagi, dan kerinduan itu, semakin lama semakin menyesakkan dada. Bangku taman, bulan, angin, suhu dingin, puisi-puisi, menjadi teman akrab saya menjalani malam-malam nan penuh kerinduan di Taiwan.

Ketika siang hari, seluruh program Pendidikan menjadi tak begitu lagi menarik bagi saya. Hari-hari dilakukan hanya menghitung detik demi detik berlalu. Sampai kapan program ini akan berakhir, karena kerinduan ini semakin menyesakkan hati.

Satu kesalahan yang saya lakukan, saya terus mengurung diri, menutup diri dari kehidupan, terus bergelut dengan kesedihan dan kerinduan seorang diri, tanpa sadar bahwa saya tak sendirian di Taiwan.

Teman-teman saya akhirnya penasaran kenapa saya setiap malam tak pernah terlihat di kamar. Dan saya tak pernah memberi tahu mereka kemana saya perginya. Hingga suatu ketika teman saya, melihat saya terduduk di bangku taman sambil masih meratapi kesedihan dan kerinduan.

Saat itu, mereka semua akhirnya tahu, bahwa saya tak kuasa menahan kesedihan dan kerinduan ini. Saya benar-benar beruntung pada akhirnya teman-teman satu asrama saya memberikan dukungan yang luar biasa. Mereka tak lagi membiarkan saya menjalani gelapnya malam sendirian untuk meratapi kesedihan ini. 

Mereka memberikan begitu banyak nasihat, cerita, pengalaman, apapun mereka lakukan untuk mendukung saya. Hingga pada akhirnya, saya menyadari bahwa kerinduan, tak akan pernah bisa dilawan dengan kesendirian.

Walau pada akhirnya kerinduan itu tetap terus ada, namun berkat support dari teman-teman asrama, akhirnya saya bisa menjadi lebih kuat. Hari-hari setelah itu menjadi lebih bermanfaat. Kegiatan Pendidikan pun akhirnya bisa saya ikuti dengan baik. Hitungan detik-demi-detik tadi, berhasil dilewati.

Satu pelajaran yang sangat berharga bagi saya, bahwa jangan pernah melawan kerinduan dan kesedihan dengan kesendirian. Kesendirian akan membuat segala hal menjadi lebih terpuruk. 

Untuk teman-teman yang masih berjuang menghadapi kesedihan dan kerinduan, mari kita bangkit. Jangan pernah merasa sendiri, mari buka pikiran kita, bahwa kesedihan dan kerinduan bukanlah lawan yang tak bisa ditaklukan. Kita memang tak akan bisa melupakan kesedihan dan kerinduan. Tapi kita bisa menyalurkan kesedihan dan kerinduan menjadi sesuatu yang lebih berguna. Alihkan energi negative tersebut menjadi positive. Kita pasti bisa.

Terima kasih buat istri tercinta saya, Habibah yang terus berada disisi saya, terus memberikan support yang luar biasa, saya tak akan pernah bisa menjalani semua ini tanpa mu.

Terima kasih teman-teman kamar asrama, terima kasih mas Basyar, yang menjadi teman malam begadang, yang menjadi penasihat terbaik, yang menjadi komedian terbaik buat saya, yang memberi banyak tawa buat saya. Terima kasih pak Asriyadi, telah menjadi guru dan abang terbaik, yang memberikan banyak pelajaran agama untuk saya. Terima kasih mas Bintang, telah menjadi teman travel saya menjelajahi Taipei, hingga saya tak lagi terpendam dalam kesedihan. Terima kasih mas Alkaff, yang telah menjadi instruktur terbaik bagi saya, memberikan saya banyak pelajaran teknis, membantu saya menjalani Pendidikan dengan baik. Terima kasih pak Darman dan pak Candra, walau kita tidak satu asrama, tapi support, canda, tawa, nasihat yang diberikan, akan terus ada dalam ingatan saya.

Akhirnya, jawaban dari pertanyaan awal saya adalah, kerinduan terhadap anak. Kerinduan yang begitu besar, rindu dari segala rindu yang pernah ada. Kita bisa berdamai dengan segala kerinduan, tapi tidak untuk kerinduan terhadap anak kita, buah hati kita, permata hati kita, pengisi jiwa kita. Mari berusaha berdamai dengan kerinduan. Jangan pernah melawan kerinduan dengan kesendirian. 

Didik Sudyana
Mahasiswa PhD Computer Science
National Chiao Tung University - Taiwan
Taiwan, 30 Oktober – 26 Desember 2019


Previous
Next Post »